Sensor Film Masa Kolonial Belanda

1916-1942

Pemerintah Kolonial Belanda membentuk Commissie voor de Keuring van Films (Komisi Penilaian Film) atau KPF pada 18 Maret 1916 untuk menyensor film yang akan diputar di Hindia Belanda, dengan tujuan mengendalikan informasi dan mencegah penyebaran ideologi yang bertentangan dengan kepentingan kolonial.

Sensor Film Masa Kolonial Jepang

1942-1945

Ketua Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan), Soitji Oja menjelaskan bahwa semua naskah dan hasil rekaman dalam pembuatan film harus disensor oleh Sendenbu atau Badan Propaganda terlebih dahulu.

Sensor Film Masa Peralihan

1945-1950

Periode ini ditandai sebagai era perjuangan kemerdekaan. Dalam era perjuangan ini, Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 dan semula berpusat di Batavia (Jakarta), karena situasi pergolakan politik dan militer, membuat Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta.

Sensor Film Masa Panitia Pengawas Film

1950-1966

Republik Indonesia Serikat (RIS) kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950. Pada masa ini urusan perfilman termasuk penyensoran film berada di lingkungan Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP & K).

Sensor Film Masa Badan Sensor Film

1966-1992

Setelah Nyonya Maria Ulfah Santoso digantikan posisinya sebagai Ketua Panitia Pengawas Film pada tahun 1961 oleh Nyonya Utami Suryadharma, Panitia Pengawas Film kemudian dikenal dengan nama Badan Sensor Film.

Sensor Film Masa Awal Lembaga Sensor Film

1992-2009

Badan Sensor Film berganti nama menjadi Lembaga Sensor Film (LSF) sejak keluarnya PP Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, dilengkapi dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan (Kepmenpen) Nomor 216/Kep/Menpen/1994.

Sensor Film Era Digital Lembaga Sensor Film

2009-Sekarang

Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri adalah langkah yang dilakukan LSF dalam menjawab tantangan banyaknya peredaran film dan iklan film yang dapat diakses melalui platform digital.